Judul apaan nih?! mungkin itulah yang terbersit di pikiran teman - teman sekarang, jujur saja saya ga tau harus kasih judul apa tapi postingan kali ini memang tidak bermaksud untuk
Suatu saat, Tuhan membentuk sekumpulan makhluk baru, species baru ini merupakan turunan dari Homo Sapiens (manusia jaman sekarang), yang membedakannya dengan postur kita saat ini adalah bahwa mulut dari makhluk ini tidak terletak di depan, tapi di belakang kepalanya. Lalu, Tuhan meletakkan makhluk ciptaanNya itu ke dalam sebuah perkampungan dengan kakayaan alam yang berlimpah, dan membiarkan mereka beranak-pinak di sana. Dan setelahnya, alam mulai bekerjasama dengan waktu membentuk ekosistemnya. Melalui Seleksi alam (natural Selection) yang memakan waktu yang cukup panjang akhirnya terbentuk dua kelompok utama yang menempati dua daerah yang berbeda. Kelompok pertama menamakan dirinya Kampung Duka, dan kelompok yang lain menamakan dirinya Kampung Suka.
Kampung Duka
Sesuai dengan namanya, penduduk di sana merasa hidupnya selalu dirundung duka, wajah sedih menjadi hiasan keseharian dari penduduk di sana, ditambah dengan tubuhnya yang kurus seperti kekurangan makanan, padahal kekayaan alam Kampung Duka berlimpah ruah.
Kampung Suka
Walau dilahirkan dari species yang sama, dari keturunan yang sama, bahkan dengan kekayaan alam yang lebih minim jika dibandingkan dengan Kampung Duka, anehnya penduduk Kampung Suka selalu tampak bahagia, wajah ceriah menjadi hiasan keseharian penduduk di sana. Mereka tampak gemuk-gemuk dan sehat. Di hampir setiap sudut pemukiman tersebut ditemukan cermin-cermin besar yang ditata dengan rapi dan apik.
Suatu saat, Sang Malaikat penjaga Kampung itu datang mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dengan species baru itu, bagaimana kedua kampung itu terbentuk dan kenapa kampung-kampung itu terbentuk? padahal ketika Tuhan menciptakan species itu, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan, Tuhan menciptakan satu makhluk yang sama di lingkungan yang sama, pada waktu yang sama.
Di Kampung Duka
Penduduk kampung itu segera berkumpul ketika mengetahui Malaikat mereka datang, mereka tanpa dikomandani mulai menyampaikan keluhan-keluhan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak adil, karena memberikan banyak kekayaan alam tapi mulut mereka di belakang kepala, sehingga untuk makan saja mereka mengalami banyak kesulitan ( pandangan mata mereka tak dapat menjangkaunya), tak mengherankan jika mereka kurus-kurus. Mereka terus mengeluh tentang tanah yang terlalu keras, matahari yang terlalu terik, hujan yang begitu deras, bahkan tanaman yang terlalu lama berbuah juga menjadi salah satu keluhan mereka.
Di Kampung Suka
Penduduk kampung itu juga segera berkumpul ketika mengetahui sang Malaikat mereka datang, mereka menyambut sang Malaikat dengan suka cita, dengan rasa syukur. Mereka mengucapkan terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan pada mereka. Walau dengan mulut yang terletak di belakang kepala, mereka yakin Tuhan punya rencana indah untuk mereka. Ternyata benar, dengan keadaan itu, mereka bisa bekerjasama, saling menyuapi satu sama lain. Waktu makan menjadi moment yang indah karena kebersamaan. Walau dengan kondisi alam yang minim kekayaannya, mereka hidup dengan sejahtera dan sehat, mereka tak pernah mengeluh, tapi mencari solusi untuk menyelesaikan problem yang ada. Banyaknya cermin di hampir setiap sudut kampung mejadi salah satu contoh cara mereka mengatasi kendala yang ada. (Katanya itu digunakan kalau sewaktu-waktu berada dalam kesendirian). Setelah mengunjungi kedua Kampung itu, Sang Malaikat itu kembali menemui Tuhan, ia melaporkan bahwa semua itu terjadi karena “PILIHAN” mereka sendiri.
Hal inilah yang akhirnya membuat saya sendiri harus memilih untuk tinggal dimana, ingat! pada dasarnya kita semua menghadapi hal yang sama, terbakar terik matahari yang sama, tetapi hanya pilihan dalam hidup kita saja yang berbeda... dan untuk memilihnya pun harus kita mulai sekarang.
Bagaimana dengan anda?!
No comments:
Post a Comment